China adalah sebuah negara super power yang berasal dari asia timur.
China mulai menggunakan politik komunisme sejak tahun 1949, sistem politik
china ini terpengaruh dari ajaran marxisme dan leninisme yang berbasiskan pada
faham sosialis. Hal inilah yang membuat pemerintahan china terpusat dengan
dipimpin oleh satu partai saja yaitu partai politik nasional atau lebih dikenal
dengan Partai Komunis China(PKC) dan sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan
perpolitikan di china. Partai komunis china menjalankan pemerintahan china
dengan presiden yang diangkat dari partai. Presiden memiliki legitimasi yang
tinggi dalam memimpin negara dan kebijakan luar negerinya, disamping partai dan
institusi-institusi kenegaraan.
Institusi kenegaraan china terdiri dari kongres nasional dan dewan
negara yang mengatur segala kebijakan dan peraturan pemerintahan di china.
Dewan negara adalah badan yang menjalankan fungsi legislatif di china, dewan
negara memberikan hasil legislatifnya kepada kongres nasional yang diadakan
setiap satu tahun sekali dan setelah itu mengatur seluruh administrasi
kenegaraan sekaligus pemilihan calon presiden berikutnya yang dari partai
komunis china.
Taiwan dan tibet merupakan 2 kawasan disekitar china yang selalu
diinginkan oleh masuk kedalam one china oleh
pemerintah beijing, hal ini membuat pemerintah china kerap kali mengeluarkan
kebijakan yang berkaitan dengan Taiwan dan Tibet. Taiwan yang merupakan daerah
yang terpisah dengan china dan merupakan sebuah pulau kecil dan terletak di
kawasan sebelah timur china. Sejak tahun 1949, terdapat kesepakatan atas
pemisahan taiwan dengan china hal ini dikarenakan rakyat taiwan menginginkan
pemerintahan sendiri tanpa menjadi one
china, walaupun pemisahan tersebut taiwan harus sepakat dengan di kontrolnya
pemerintah taiwan oleh china.[1]
Hubungan antara china dan taiwan merupakan isu menonjol di asia
timur dan tentunya juga diperhatikan dalam cakupann internasional. Hubungan
keduanya menunjukkan keadaan yang status
quo dengan pemahaman masing-masing mengenai posisi dan kedaulatan mereka di
area internasional. Meski masih menjadi sebuah isu yang di coba untuk
diselesaikan, setidaknya hubungan china dan taiwan sempat menunjukkan adanya
perubahan yang berasal dari perubahan kebijakan pemerintah china atas upaya
reunifikasi dengan taiwan. Kebijakan china tersebut diimplementasikan dalam
strategi one china policy, yang menunjukkan bahwa keinginan china untuk
membangun hubungan dengan taiwan dan menyelesaikan isu separatisme yang terjadi
dengan cara yang cenderung damai. Pada dasarnya, tujuan utama dari china dalam
one china policy adalah untuk menyatukan kedaulatan bagian-bagian china yang
terpisah, seperti taiwan yang satu kesatuan dari daratan china, namun cara yang
di tempuh untuk melakukan kebijakan tersebut mengalami perubahan dari satu era
kepemimpinan lainnya, hal inilah yang dinamakan dengan reunifikasi.
Selama memerintah di Taiwan, Chiang Kai Shek tetap
menggunakan nama People Republic of
China(PRC) sebagaimana nama yang digunakan di China daratan. Atas dasar
itulah kemudian pemerintah Beijing mengeluarkan kebijakan One China Policy terhadap Taiwan
dan tetap berusaha memperjuangkan kebijakan tersebut di ranah internasional.
Pemerintah Cina menganggap bahwa Taiwan merupakan bagian dari Cina daratan dan
bagaimana pun caranya Cina harus merebut kembali Taiwan sebagai bagian dari
negaranya meskipun harus menggunakan kekerasan. Sementara, Taiwan sendiri pun
bersikeras bahwa hubungan antara Taiwan dengan Cina merupakan hubungan antar
negara bukan hubungan antara pemerintah pusat dengan propinsinya. Taiwan
melihat bahwa upaya reunifikasi oleh Cina tersebut hanya dapat terjadi jika
Cina menjadi negara yang demokratis[2]
One china policy merupakan sebuah kebijakan yang dipegang oleh pemerintah
china dengan pusat pemerintahan di beijing, yang dimana pada kebijakan ini
pemerintah beijing menetapkan bahwa hanya ada satu china atau one china yang
berdaulat dan memiliki aspek legalitas sebagai negara yaitu Republik Rakyat China
(RRC). Namun, republik china di taiwan dengan pemerintahan yang ada di taipei,
mereka juga mengklaim sebagai bagian dari republik rakyat china. Pemerintahan
china mendeklarasikan kepada forum internasional bahwa pihak taiwan sudah
selayaknya tunduk pada kebijakannya tersebut yaitu one china policy. Hal ini dikarenakan taiwan telah terikat pada
konsensus yang telah disepakati oleh perwakilan kedua belah pihak pada tahun
1992 di hongkong. Oleh karena itu, china menganggap bahwa eksistensi kebijakan
yang hanya mengakui adanya one china ini merupakan status quo yang tidak dapat
diganggu gugat oleh taiwan. Namun, mantan presiden taiwan chen shui-bian
menolak untuk mengakui doktrin kebijakan china tersebut dan ia mengaku bahwa
sejak tahun 1949, sinergi antara china dan taiwan tidak pernah lagi terwujud.
Oleh karena itu, taiwan terus mengupayakan negosiasi demi meraih kedaulatan
penuh sebagai satu negara yang tidak identik dengan china. (Kan, 2009)[3]
Menurut Arthur S. Ding dalam artikelnya, whither taiwan-china relations Berbeda dengan china, taiwan
memiliki dua partai politik yakni koumintang dan Democrat Progressive
Party(DPP). Pemilihan kepresidenan dan kepemimpinan di taiwan diselenggarakan
dengan sistem super-presidensial, dimana calon presiden diangkat dari
perwakilan kedua partai. Presiden taiwan memiliki kekuasaan mengatur keadaan
domestik dan hubungan luar negeri taiwan. Partai Koumintang dan DPP menurut
Ding mempunyai perbedaan dimana DPP terkenal dengan upaya dan kebijakannyauntuk
mendirikan taiwan yang demokratis, sementara itu partai Koumintang masih
sepakat dengan kondisi taiwan yang berhubungan dengan china. Selama ini DPP
menguasai pemilihan umum dan kepemerintahan taiwan, namun pada tahun 2008
partai koumintang berhasil menduduki kepemimpinan. Menurut Ding hal ini
dikarenakan “ the voters have made clear they are fed up with DPP’s manipulation
of social cleavage along the lines of independence (taiwanese) versus
pro-unification (chinesse) in order to garner political support” (Ding,
2008:97).[4]
Selain
Taiwan , China juga ingin menarik Tibet sebagi negara bagiannya. Tibet dengan
mayoritas penduduknya yang memeluk agama budha memiliki kedekatan dengan India
karena kesamaan agama yang dipeluk. Secara historikal, China dan Tibet
merupakan dua dinasti yang saling bekerjasama untuk menaklukkan pasukan Arab.
Namun kemudian China menaklukkan Tibet dan mengambil alih daerah kekuasaan
Tibet. Namun, Tibet sendiri merasa merdeka dan tidak berada di bawah China.
Dari sudut pandang China, Tibet masih termasuk ke dalam wilayah China, juga
terkait dengan bantuan ekonomi ke Tibet yang telah dianggarkan oleh pemerintah
China. Kebijakan yang sering dikeluarkan oleh China menyebabkan munculnya
aksi-aksi penolakan dari warga Tibet. Tidak hanya di negara Tibet saja, tapi
warga Tibet yang berada di china juga melayangkan protes kepada pemerintah
China yang tidak terima dengan kebijakan tersebut. Masyarakat Tibet juga
menilai bahwa kebijakan china tersebut telah mengganggu kebudayaan dan
aktifitas agama di Tibet. Sampai saat ini kebijakan represif china masih
menghantui Tibetan karena ideologi komunis yang di anut oleh China.
Hubungan China dengan
Tibet merupakan hubungan yang didasari upaya China dalam menyatukan Tibet
dengan China menjadi sebuah negara besar one China walaupun hal
tersebut mendapatkan pertentangan dari pihak domestik Tibet sendiri. Tibet
sepakat dengan kontrol pemerintah China yang masih ada kepada kawasan mereka,
walaupun mereka menolak dengan tegas intervensi China dalam kehidupan
masyarakatnya. seharusnya China sebagai sebuah negara yang memiliki sejarah
peradaban kebudayaan yang panjang menghargai adanya perbedaan budaya dan
kehidupan daerah disekitarnya seperti Tibet dan tidak memaksakan pemikiran
politiknya untuk tetap mengontrol daerah tersebut dalam pandangan sosialisme
negaranya. Karena sebuah bangsa merupakan perwujudan kebahagiaan dan keinginan
yang sama yang datang pada suatu masyarakat, bukan keinginan yang dipaksakan
yang berasal dari sebuah kekuasaan masa lampau
[1] Ding, Arthur S. 2008. "Whither Taiwan-China Relations?"
dalam China Security, Vol. 4, No. 1 Winter 2008. World Security Institute
[2] Ibid.
[3] Chang,
Parris H. 2014. “Beijing’s Unification Strategy Toward Taiwan and Cross-Strait
Relations”, dalam The Korean Journal of Defense Analysis, Vol. 25, No. 3,
hal. 299-314.
[4] Ding, Arthur S. 2008. "Whither Taiwan-China
Relations?" dalam China Security, Vol. 4, No. 1 Winter 2008. World
Security Institute
0 komentar:
Posting Komentar