Pengikut

Senin, 23 Oktober 2017

Respon Taiwan dan Tibet Terhadap One China Policy

China adalah sebuah negara super power yang berasal dari asia timur. China mulai menggunakan politik komunisme sejak tahun 1949, sistem politik china ini terpengaruh dari ajaran marxisme dan leninisme yang berbasiskan pada faham sosialis. Hal inilah yang membuat pemerintahan china terpusat dengan dipimpin oleh satu partai saja yaitu partai politik nasional atau lebih dikenal dengan Partai Komunis China(PKC) dan sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan perpolitikan di china. Partai komunis china menjalankan pemerintahan china dengan presiden yang diangkat dari partai. Presiden memiliki legitimasi yang tinggi dalam memimpin negara dan kebijakan luar negerinya, disamping partai dan institusi-institusi kenegaraan.
Institusi kenegaraan china terdiri dari kongres nasional dan dewan negara yang mengatur segala kebijakan dan peraturan pemerintahan di china. Dewan negara adalah badan yang menjalankan fungsi legislatif di china, dewan negara memberikan hasil legislatifnya kepada kongres nasional yang diadakan setiap satu tahun sekali dan setelah itu mengatur seluruh administrasi kenegaraan sekaligus pemilihan calon presiden berikutnya yang dari partai komunis china.
Taiwan dan tibet merupakan 2 kawasan disekitar china yang selalu diinginkan oleh masuk kedalam one china oleh pemerintah beijing, hal ini membuat pemerintah china kerap kali mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan Taiwan dan Tibet. Taiwan yang merupakan daerah yang terpisah dengan china dan merupakan sebuah pulau kecil dan terletak di kawasan sebelah timur china. Sejak tahun 1949, terdapat kesepakatan atas pemisahan taiwan dengan china hal ini dikarenakan rakyat taiwan menginginkan pemerintahan sendiri tanpa menjadi one china, walaupun pemisahan tersebut taiwan harus sepakat dengan di kontrolnya pemerintah taiwan oleh china.[1]
Hubungan antara china dan taiwan merupakan isu menonjol di asia timur dan tentunya juga diperhatikan dalam cakupann internasional. Hubungan keduanya menunjukkan keadaan yang status quo dengan pemahaman masing-masing mengenai posisi dan kedaulatan mereka di area internasional. Meski masih menjadi sebuah isu yang di coba untuk diselesaikan, setidaknya hubungan china dan taiwan sempat menunjukkan adanya perubahan yang berasal dari perubahan kebijakan pemerintah china atas upaya reunifikasi dengan taiwan. Kebijakan china tersebut diimplementasikan dalam strategi one china policy, yang menunjukkan bahwa keinginan china untuk membangun hubungan dengan taiwan dan menyelesaikan isu separatisme yang terjadi dengan cara yang cenderung damai. Pada dasarnya, tujuan utama dari china dalam one china policy adalah untuk menyatukan kedaulatan bagian-bagian china yang terpisah, seperti taiwan yang satu kesatuan dari daratan china, namun cara yang di tempuh untuk melakukan kebijakan tersebut mengalami perubahan dari satu era kepemimpinan lainnya, hal inilah yang dinamakan dengan reunifikasi.
Selama memerintah di Taiwan, Chiang Kai Shek tetap menggunakan nama People Republic of China(PRC) sebagaimana nama yang digunakan di China daratan. Atas dasar itulah kemudian pemerintah Beijing mengeluarkan kebijakan One China Policy terhadap Taiwan dan tetap berusaha memperjuangkan kebijakan tersebut di ranah internasional. Pemerintah Cina menganggap bahwa Taiwan merupakan bagian dari Cina daratan dan bagaimana pun caranya Cina harus merebut kembali Taiwan sebagai bagian dari negaranya meskipun harus menggunakan kekerasan. Sementara, Taiwan sendiri pun bersikeras bahwa hubungan antara Taiwan dengan Cina merupakan hubungan antar negara bukan hubungan antara pemerintah pusat dengan propinsinya. Taiwan melihat bahwa upaya reunifikasi oleh Cina tersebut hanya dapat terjadi jika Cina menjadi negara yang demokratis[2]
One china policy merupakan sebuah kebijakan yang dipegang oleh pemerintah china dengan pusat pemerintahan di beijing, yang dimana pada kebijakan ini pemerintah beijing menetapkan bahwa hanya ada satu china atau one china yang berdaulat dan memiliki aspek legalitas sebagai negara yaitu Republik Rakyat China (RRC). Namun, republik china di taiwan dengan pemerintahan yang ada di taipei, mereka juga mengklaim sebagai bagian dari republik rakyat china. Pemerintahan china mendeklarasikan kepada forum internasional bahwa pihak taiwan sudah selayaknya tunduk pada kebijakannya tersebut yaitu one china policy. Hal ini  dikarenakan taiwan telah terikat pada konsensus yang telah disepakati oleh perwakilan kedua belah pihak pada tahun 1992 di hongkong. Oleh karena itu, china menganggap bahwa eksistensi kebijakan yang hanya mengakui adanya one china ini merupakan status quo yang tidak dapat diganggu gugat oleh taiwan. Namun, mantan presiden taiwan chen shui-bian menolak untuk mengakui doktrin kebijakan china tersebut dan ia mengaku bahwa sejak tahun 1949, sinergi antara china dan taiwan tidak pernah lagi terwujud. Oleh karena itu, taiwan terus mengupayakan negosiasi demi meraih kedaulatan penuh sebagai satu negara yang tidak identik dengan china. (Kan, 2009)[3]


Menurut Arthur S. Ding dalam artikelnya, whither taiwan-china relations Berbeda dengan china, taiwan memiliki dua partai politik yakni koumintang dan Democrat Progressive Party(DPP). Pemilihan kepresidenan dan kepemimpinan di taiwan diselenggarakan dengan sistem super-presidensial, dimana calon presiden diangkat dari perwakilan kedua partai. Presiden taiwan memiliki kekuasaan mengatur keadaan domestik dan hubungan luar negeri taiwan. Partai Koumintang dan DPP menurut Ding mempunyai perbedaan dimana DPP terkenal dengan upaya dan kebijakannyauntuk mendirikan taiwan yang demokratis, sementara itu partai Koumintang masih sepakat dengan kondisi taiwan yang berhubungan dengan china. Selama ini DPP menguasai pemilihan umum dan kepemerintahan taiwan, namun pada tahun 2008 partai koumintang berhasil menduduki kepemimpinan. Menurut Ding hal ini dikarenakan “ the voters have made clear they are fed up with DPP’s manipulation of social cleavage along the lines of independence (taiwanese) versus pro-unification (chinesse) in order to garner political support” (Ding, 2008:97).[4]
Selain Taiwan , China juga ingin menarik Tibet sebagi negara bagiannya. Tibet dengan mayoritas penduduknya yang memeluk agama budha memiliki kedekatan dengan India karena kesamaan agama yang dipeluk. Secara historikal, China dan Tibet merupakan dua dinasti yang saling bekerjasama untuk menaklukkan pasukan Arab. Namun kemudian China menaklukkan Tibet dan mengambil alih daerah kekuasaan Tibet. Namun, Tibet sendiri merasa merdeka dan tidak berada di bawah China. Dari sudut pandang China, Tibet masih termasuk ke dalam wilayah China, juga terkait dengan bantuan ekonomi ke Tibet yang telah dianggarkan oleh pemerintah China. Kebijakan yang sering dikeluarkan oleh China menyebabkan munculnya aksi-aksi penolakan dari warga Tibet. Tidak hanya di negara Tibet saja, tapi warga Tibet yang berada di china juga melayangkan protes kepada pemerintah China yang tidak terima dengan kebijakan tersebut. Masyarakat Tibet juga menilai bahwa kebijakan china tersebut telah mengganggu kebudayaan dan aktifitas agama di Tibet. Sampai saat ini kebijakan represif china masih menghantui Tibetan karena ideologi komunis yang di anut oleh China.
Hubungan China dengan Tibet merupakan hubungan yang didasari upaya China dalam menyatukan Tibet dengan China menjadi sebuah negara besar one China walaupun hal tersebut mendapatkan pertentangan dari pihak domestik Tibet sendiri. Tibet sepakat dengan kontrol pemerintah China yang masih ada kepada kawasan mereka, walaupun mereka menolak dengan tegas intervensi China dalam kehidupan masyarakatnya. seharusnya China sebagai sebuah negara yang memiliki sejarah peradaban kebudayaan yang panjang menghargai adanya perbedaan budaya dan kehidupan daerah disekitarnya seperti Tibet dan tidak memaksakan pemikiran politiknya untuk tetap mengontrol daerah tersebut dalam pandangan sosialisme negaranya. Karena sebuah bangsa merupakan perwujudan kebahagiaan dan keinginan yang sama yang datang pada suatu masyarakat, bukan keinginan yang dipaksakan yang berasal dari sebuah kekuasaan masa lampau


[1] Ding, Arthur S. 2008. "Whither Taiwan-China Relations?" dalam China Security, Vol. 4, No. 1 Winter 2008. World Security Institute
[2] Ibid.
[3] Chang, Parris H. 2014. “Beijing’s Unification Strategy Toward Taiwan and Cross-Strait Relations”, dalam The Korean Journal of Defense Analysis, Vol. 25, No. 3, hal. 299-314.
[4] Ding, Arthur S. 2008. "Whither Taiwan-China Relations?" dalam China Security, Vol. 4, No. 1 Winter 2008. World Security Institute

0 komentar:

Posting Komentar