Pengikut

Senin, 16 Oktober 2017

Demokrasi dan Demokratisasi di Libya



          Libya adalah Negara afrika utara yang pernah dipimpin oleh Muammar Qaddafi selama beberapa decade. Muammar qaddafi naik menjadi pemimpin baru Libya di tahun 1969 lewat kudeta yang mengakiri era kerajaan  dan menjadikan Libya sebagai salah satu Negara yang kondisi perpolitikanya amat tertutup. Sebagai negara penghasil minyak terbesar, Libya mendapat pendapat 52,8% hanya dari penghasilan minyak. Tetapi karena tindakan korupsi pemimpinnya, pembangunan yang seharusnya terjadi di Libya pun tidak dapat terwujudkan. Kepemimpinan Moammar Qaddafi yang otoriter menciptakan krisis kepercayaan bagi rakyat Libya. Sejak Moammar Qaddafi berkuasa hingga digulingkan tahun 2011, tidak ada pemilihan umum untuk memilih pemimpin Libya, karena politik Libya identik dengan cara bagaimana Moammar Qaddafi memimpin negara ini. Hal tersebut bisa dilakukan hingga lebih dari empat dekade berkuasa hingga mengalami krisis politik tahun 2011 lalu. Revolusi di Libya berlangsung relatif lama dibanding negara yang lain. Masyarakat Libya lebih banyak dipersatukan dalam asosiasi kabilah atau tribalism sedangkan Mesir civil society lebih kuat, berbasis pada kepemimpinan ulama dan kaum cendekiawan.
            Rakyat Libya dilarang berpolitik yang tujuanya tidak lain adalah untuk meminimalisir ancaman dari dalam negeri terhadap kekuasaanya. Memasuki akhir tahun 2010, timbul arus demonstrasi besar besaran di Negara Negara arab yang dienal dengan musim semi arab ( arab spring ). Demonstrasi ini adalah efek dari gerakan yang sama di Tunisia dan berakhir dengan keberasilan para demonstran melengserkan presiden Ben Ali dari kekuasaan. Gelombang revolusi Arab Spring dimulai ketika seorang pedagang buah yang bernama Mohamed Bouazizi melakukan pembakaran diri sebagai bentuk protes terhadap pemerintah di Tunisia pada bulan Desember 2010,yang menjadi awal gelombang protes di berbagai negara Arab
               Seiring berjalanya waktu, aksi demonstrasi semakin lama semakin marak marak sehingga terjadi gesekan dengan aparat keamanan dan bahkan demonstran sampai menggantung sejumlah polisi yang tertangkap. Ini didasarkan pada tindakan pasukan polisi dan militer pro qaddafi yang melakukan tindakan kekerasan teradap para demonstran.
             Semakin brutal dan diluar kendalinya tindakan dari pasukan Libya membuat para demonstran yang awalnya terbagi menjadi beberapa kelompok menyatukan diri dan memutuskan untuk angkat senjata karena jalan satu satunya untuk megakhiri kekuasaan qaddafi adalah dengan perang. Mereka membentuk organisasi perlawanan yang diberi nama National Transitional Council of Libya ( NTC ).
Semakin bekecamknya perang di Libya membuat PBB pada tanggal 17 maret 2011 akhirnya mengeluarkan resolusi untuk menciptakan zona larangan terbang(no-fly zone) di langit Libya. Bukan hanya itu, akan tetapi PBB juga melarang pengiriman senjata ke Libya dan memerintahkan pembekuan asset-aset milik keluarga qaddafi di luar negeri. Selanjutnya diikuti dengan intervensi NATO yang mebuat NTC mendapatkan support senjata dan serangan udara dan berakhir dengan terbunuhnya Muammar Qaddafi ditangan para pemberontak. Berakirnya kekuasaan qaddafi membawa jalan menuju demokratisasi di Libya yang selama puluhan tahun hiduo dalam kekangan qaddafi.


Kondisi pasca revolusi dan proses demokratisasi di Libya
    
             Setelah lengser dan dibunuhnya  Khadafi, bukan berarti Libya segera tertata rapi, rakyat hidup tenteram dan sejahtera.Kesulitan pertama setelah rezim Kadhafi jatuh adalah sulitnya menciptakan persatuan dan keamanan rakyat. Nasib Libya akan sama dengan Irak setelah lengser dan meninggalnya Saddam Husein. Di Irak hingga kini rakyat masih larut dalam perang saudara. Apalagi di Libya, militan Khadafi jumlahnya masih sangat besar.Mereka tentu tidak terima dengan perlakuan mereka terima saat ini. Padahal,pada fase sekarang ini NATO tidak akan segigih saat “membela” Libya atas nama demokrasi dan HAM.
                Fokus mereka selanjutnya tentu masalah konsesi minyak. Bagaimanapun, motif pertama dan utama dalam perubahan oleh Barat di Timur Tengah adalah minyak (war for oil). Namun dalam rangka menghemat biaya,Barat tidak menggunakan invasi besar-besaran,seperti serangan dua kali ke Saddam Husein di Irak.
                  Kini Barat lebih memilih untuk membiayai kelompok oposisi dengan tema demokrasi dan HAM untuk memberontak. Sebelum invasi dilakukan, terlebih dulu dilakukan sanksi berupa pembekuan aset-aset penguasa/pemerintah yang sebagian tentu untuk membiayai pemberontak. Kini, ketika Khadafi sudah meninggal, tentu asetnya lebih sulit dilacak oleh Barat.
                  Kebiasaan raja-raja uang dan minyak di Timur Tengah memang menyimpan uang mereka di Barat.Padahal, cara ini sebenarnya adalah gol bunuh diri oleh mereka sendiri, pembekuan aset, sebagian dipakai untuk memprovokasi dan membiayai para pemberontak untuk menjatuhkan penguasa/pemerintah.
               Kemengan phak revolusioner yang tergabung dalam National Transition Committee (Komite Transisi Nasional) bukanlah akhir dari perjuangan rakyat Libya untuk mencapai demokrasi, melainkan hanya sekedar pintu masuk menuju demokrasi yang sesunggunya. Bahkan setela digelar Pemilihan Umum (pemilu) pertama, juli 2012 yang memperebutkan 200 kursi anggota majelis nasional libya, krisis politik dan kemanusiaan masih terus berlansung.
                  Konflik yang terjadi bukan lagi antara kaum revolusioner melawan qaddafi dan loyalisnya yang petanya jelas karena ada musuh bersama. Yang terjadi saat ini jauh lebih rumit karena terjadi antar suku, antar milisi, antar mazhab pemeluk agama, dan antar pendukung kepentingan politik. Perang saudara terus mengancam keutuhan Libya karena pada umunya suku suku dan para milisi menolak penyerahan senjata kepada otoritas militer yang berkuasa.


0 komentar:

Posting Komentar