Libya
adalah Negara afrika utara yang pernah dipimpin oleh Muammar Qaddafi selama
beberapa decade. Muammar qaddafi naik menjadi pemimpin baru Libya di tahun 1969
lewat kudeta yang mengakiri era kerajaan
dan menjadikan Libya sebagai salah satu Negara yang kondisi
perpolitikanya amat tertutup. Sebagai negara penghasil minyak terbesar, Libya
mendapat pendapat 52,8% hanya dari penghasilan minyak. Tetapi karena tindakan korupsi
pemimpinnya, pembangunan yang seharusnya terjadi di Libya pun tidak dapat
terwujudkan. Kepemimpinan Moammar Qaddafi yang otoriter menciptakan krisis kepercayaan
bagi rakyat Libya. Sejak Moammar Qaddafi berkuasa hingga digulingkan tahun 2011,
tidak ada pemilihan umum untuk memilih pemimpin Libya, karena politik Libya
identik dengan cara bagaimana Moammar Qaddafi memimpin negara ini. Hal tersebut
bisa dilakukan hingga lebih dari empat dekade berkuasa hingga mengalami krisis
politik tahun 2011 lalu. Revolusi di Libya berlangsung relatif lama dibanding negara
yang lain. Masyarakat Libya lebih banyak dipersatukan dalam asosiasi kabilah
atau tribalism sedangkan Mesir civil society lebih kuat,
berbasis pada kepemimpinan ulama dan kaum cendekiawan.
Rakyat Libya dilarang berpolitik yang tujuanya
tidak lain adalah untuk meminimalisir ancaman dari dalam negeri terhadap
kekuasaanya. Memasuki akhir tahun 2010, timbul arus demonstrasi besar besaran
di Negara Negara arab yang dienal dengan musim semi arab ( arab spring ).
Demonstrasi ini adalah efek dari gerakan yang sama di Tunisia dan berakhir
dengan keberasilan para demonstran melengserkan presiden Ben Ali dari
kekuasaan. Gelombang revolusi
Arab Spring dimulai ketika seorang pedagang buah yang bernama Mohamed Bouazizi melakukan
pembakaran diri sebagai bentuk protes terhadap pemerintah di Tunisia pada bulan
Desember 2010,yang menjadi awal gelombang protes di berbagai negara Arab
Seiring
berjalanya waktu, aksi demonstrasi semakin lama semakin marak marak sehingga
terjadi gesekan dengan aparat keamanan dan bahkan demonstran sampai menggantung
sejumlah polisi yang tertangkap. Ini didasarkan pada tindakan pasukan polisi
dan militer pro qaddafi yang melakukan tindakan kekerasan teradap para
demonstran.
Semakin
brutal dan diluar kendalinya tindakan dari pasukan Libya membuat para
demonstran yang awalnya terbagi menjadi beberapa kelompok menyatukan diri dan
memutuskan untuk angkat senjata karena jalan satu satunya untuk megakhiri
kekuasaan qaddafi adalah dengan perang. Mereka membentuk organisasi perlawanan
yang diberi nama National Transitional Council of Libya ( NTC ).
Semakin
bekecamknya perang di Libya membuat PBB pada tanggal 17 maret 2011 akhirnya
mengeluarkan resolusi untuk menciptakan zona larangan terbang(no-fly zone) di langit
Libya. Bukan hanya itu, akan tetapi PBB juga melarang pengiriman senjata ke
Libya dan memerintahkan pembekuan asset-aset milik keluarga qaddafi di luar
negeri. Selanjutnya diikuti dengan intervensi NATO yang mebuat NTC mendapatkan
support senjata dan serangan udara dan berakhir dengan terbunuhnya Muammar
Qaddafi ditangan para pemberontak. Berakirnya kekuasaan qaddafi membawa jalan
menuju demokratisasi di Libya yang selama puluhan tahun hiduo dalam kekangan
qaddafi.
Kondisi pasca revolusi
dan proses demokratisasi di Libya
Setelah lengser dan dibunuhnya Khadafi, bukan berarti Libya segera tertata rapi, rakyat hidup tenteram dan sejahtera.Kesulitan pertama setelah rezim Kadhafi jatuh adalah sulitnya menciptakan persatuan dan keamanan rakyat. Nasib Libya akan sama dengan Irak setelah lengser dan meninggalnya Saddam Husein. Di Irak hingga kini rakyat masih larut dalam perang saudara. Apalagi di Libya, militan Khadafi jumlahnya masih sangat besar.Mereka tentu tidak terima dengan perlakuan mereka terima saat ini. Padahal,pada fase sekarang ini NATO tidak akan segigih saat “membela” Libya atas nama demokrasi dan HAM.
Fokus
mereka selanjutnya tentu masalah konsesi minyak. Bagaimanapun, motif pertama
dan utama dalam perubahan oleh Barat di Timur Tengah adalah minyak (war for
oil). Namun dalam rangka menghemat biaya,Barat tidak menggunakan invasi
besar-besaran,seperti serangan dua kali ke Saddam Husein di Irak.
Kini
Barat lebih memilih untuk membiayai kelompok oposisi dengan tema demokrasi dan
HAM untuk memberontak. Sebelum invasi dilakukan, terlebih dulu dilakukan sanksi
berupa pembekuan aset-aset penguasa/pemerintah yang sebagian tentu untuk
membiayai pemberontak. Kini, ketika Khadafi sudah meninggal, tentu asetnya
lebih sulit dilacak oleh Barat.
Kebiasaan
raja-raja uang dan minyak di Timur Tengah memang menyimpan uang mereka di
Barat.Padahal, cara ini sebenarnya adalah gol bunuh diri oleh mereka sendiri,
pembekuan aset, sebagian dipakai untuk memprovokasi dan membiayai para pemberontak
untuk menjatuhkan penguasa/pemerintah.
Kemengan
phak revolusioner yang tergabung dalam National Transition Committee (Komite
Transisi Nasional) bukanlah akhir dari perjuangan rakyat Libya untuk mencapai
demokrasi, melainkan hanya sekedar pintu masuk menuju demokrasi yang sesunggunya.
Bahkan setela digelar Pemilihan Umum (pemilu) pertama, juli 2012 yang
memperebutkan 200 kursi anggota majelis nasional libya, krisis politik dan
kemanusiaan masih terus berlansung.
Konflik
yang terjadi bukan lagi antara kaum revolusioner melawan qaddafi dan loyalisnya
yang petanya jelas karena ada musuh bersama. Yang terjadi saat ini jauh lebih
rumit karena terjadi antar suku, antar milisi, antar mazhab pemeluk agama, dan
antar pendukung kepentingan politik. Perang saudara terus mengancam keutuhan
Libya karena pada umunya suku suku dan para milisi menolak penyerahan senjata
kepada otoritas militer yang berkuasa.
0 komentar:
Posting Komentar