Pengikut

Sabtu, 21 Oktober 2017

Power(Kekuasaan) Dalam suatu Pemerintahan Negara

Sebelum menuju kepada pembahasan lebih dulu kita harus mengerti apa itu power(kekuasaan), kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai sesuatu dengan cara yang diinginkan. Kekuasaan tak luput hubungannya dengan organisasi dan kepemimpinan. Dalam suatu organisasi sebagai wadah yang memiliki struktur, dimana terdapat seorang pemimpin sebagai atasan dan orang yang dipimpin sebagai bawahannya pasti terdapat didalamnya kekuasaan serta kepemimpinan. Pada kekuasaan selalu melibatkan hubungan antara dua orang atau lebih, karena kekuasaan selalu melibatkan interaksi sosial antar beberapa pihak, lebih dari satu pihak. Dengan demikian seorang individu atau kelompok yang terisolasi tidak dapat memiliki kekuasaan karena kekuasaan harus dilaksanakan atau mempunyai potensi untuk dilaksanakan oleh orang lain.
 Power(kekuasan) adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh  atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Terdapat beberapa definisi mengenai power. Robert A. Dahl dalam karyanya yang berjudul,“ Modern Political Analysis”mendefinisikan power sebagai,“the ability to get another actor to do what it would not otherwise have done (or not to do what it would have done )”[1]. Robert A. Dahl mendefinisikan power sebagai kemampuan untuk membuat aktor lain bertindak apa yang tidak diinginkannya (atau tidak bertindak apa yang diinginkannya). Sehingga,jika aktor mendapatkan apa yang ia inginkan, maka ia harus memiliki kekuatan. Selain itu, Bruce Russett, Harvey Starr, David Kinsella dalam bukunya yang berjudul “World Politics The Menu for Choice”mengartikan power sebagai,“the ability to have an impact on the behavior of other actors – to affect the opportunities available to others and their willingness to choose particular courses of action”[2].Mereka mengartikan power sebagai kemampuan untuk memberikan dampak terhadap perilaku aktor-aktor lain, atau power sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kesempatan yang tersedia bagi orang lain dan kemauan mereka untuk memilih perilaku tertentu dari suatu tindakan. Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan dalam buku “International Relations: The Key Concepts mendefinisikan power sebagai,“state’s ability to control, or at least influence, other states or the outcome of events”[3]. Martin Grffiths dan Terry O’Callaghan mengartikan power sebagai kemampuan negara untuk mengontrol, atau setidaknya mempengaruhi, negara lain. Selain itu Martin dan Terry mengartikan power sebagai,“a capacity of action”[4]. Mereka pun menyatakan bahwa, power, like money, is instrumental, to be used primarily to achieving or defending other goals, which could include prestige, territory, or security.” Mereka menyatakan power, seperti uang, merupakan instrumen, yang digunakan mendapatkan atau mempertahankan tujuan dimana termasuk harga diri, wilayah, dan keamanan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka negara dapat menggunakan pengaruh, persuasi atau memberikan reward , ancaman, dan penggunaan kekuatan


Tipe Power(Kekuasaan)

Jika setiap individu mengadakan interaksi untuk mempengaruhi tindakan satu sama lain, maka yang muncul dalam interaksi tersebut adalah pertukaran kekuasaan. Dari penjelasan tentang definisi power(kekuasaan) diatas sebuah power/kekuasaa pasti memiliki tipe-tipe, dalam studi Hubungan Internasional ada 2 tipe power(kekuasaan) antara lain Hard Power dan Soft Power.
Hard power merupakan suatu tindakan yang menggunakan cara kekerasan dan cenderung agresif, misalnya melalui tekanan politik, tekanan ekonomi dan serangan militer. Hard power dilakukan oleh negara yang memiliki power kuat dikarenakan hard power memerlukan kekuatan militer yang kuat dan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, hard power memicu terjadinya perselisihan antar negara karena dilakukan melalui paksaan dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi negara yang bertikai. Walaupun memilki sisi negatif, hard power merupakan cara yang memberikan efek paling nyata dalam meningkatkan power suatu negara. Contoh kasusnya adalah pada tahun 1990, sanksi ekonomi menyatakan bahwa tidak memaksa Iraq untuk menarik diri dari Kuwait, namun pada tahun 1991 terjadi serangan militer sengit yang dilakukan oleh pasukan koalisi PBB yang ditujukan kepada rumah tentara Iraq. AS adalah contoh negara yang menggunakan hard powernya dengan sukses sewaktu menaklukkan pemerintahan Irak era Saddam Hussein (tahun 2003), namun citranya di mata dunia merosot. Survei yang dilakukan Pew Research Center tentang opini dunia terhadap AS menunjukkan citra positif AS yang menurun antara tahun 2002 hingga 2007, Hal ini menunjukkan bahwa AS telah kalah dalam merebut simpati dunia(termasuk Eropa), kendati berhasil mengalahkan Iraq keadaa ini tidak ideal Hal ini dibenarkan oleh Menteri Pertahanan AS waktu itu,Robert Gates, yang menyatakan perlunya AS meningkatkan soft power dengan meningkatkan anggaran untuk mengembangkan instrumen sipil keamanan nasional, seperti diplomasi, komunikasi strategis, bantuan luar negeri, rekonstruksi ekonomi, dll. Ia mengakui bahwa saran ini tidak lazim, karena Menteri Pertahanan mengusulkan tambahan anggaran yang besar untuk Kementerian Luar Negeri, namun ia yakin bahwa hal ini perlu dilakukan untuk mengembalikan keunggulan AS.
Soft power adalah kemampuan seorang actor untuk mengajak actor yang lainnya untuk melakukan kegiatan melalui jalan diplomasi atau influence. Dalam hal ini, daya tarik ideologi suatu negara, budaya, prestise, atau kesuksesan dapat menyebabkan negara tersebut menjadi pemimpin bagi negara lain sehingga dapat membuat negara lain dengan rela mengikutinya. Soft power merupakan cara yang efektif untuk mencegah peperangan antar negara yang ingin menunjukkan powernya. Walaupun menggunakan cara yang lebih lunak tetapi soft power juga merupakan cara jitu untuk mendapatkan power karena ketika suatu negara mampu menyebarluaskan ideologinya dan mempengaruhi negara lain melalui berbagai pendekatan, saat itulah negara tersebut akan mendapatkan kekuatan berupa kepercayaan dari negara lain. Namun apabila suatu negara menggunakan soft power saja maka negara tersebut cenderung statis karena tidak berani melakukan tindakan militer maupun gerakan-gerakan lain yang menggunakan fisik. Kebutuhan untuk menggunakan soft power, sudah disadari China sejak lama. Beberapa contoh yang terlihat adalah prakarsa jalan sutra darat dan maritim untuk meningkatkan kerjasama perdagangan dengan negara-negara Asia dan Eropa Tengah, penyelenggaraan siaran TV berbahasa Inggris (CCTV), tuan rumah Olimpiade dll. Cukup menonjol adalah perluasan pengaruhnya ke benua Afrika, menggunakan budaya, diplomasi, teknologi, modal, pembangunan infrastruktur, dll. sebagai sarana untuk membangun soft power. China mendirikan Forum Kerjasama China-Afrika sebagai wadah kerjasama bidang kesehatan, bantuan kemanusiaan, pertukaran akademisi dan profesional,dan kebudayaan.Pemerintah China mendirikan belasan Confucius Institute untuk mengembangkan pengajaran bahasa China kepada generasi muda Afrika.




Unsur Power Suatu Negara

Negara merupakan abstraksi dari sejumlah kelompok individu maupun golongan yang mempunyai kesamaan cirri khas yang menjadikan mereka anggota negara yang sama (nationality). Dalam hal ini, unsur manusia yang berada di teritori negara tertentu sangat berpengaruh terhadap kekuatan yang dimiliki oleh negara. Unsur kekuatan nasional tidak berpaku pada kualitas maupun kuantitas populasi suatu negara, tetapi juga unsur geografis (geopolitic), Sumber Daya Alam, ekonomi dan industri, kemampuan militer, penduduk, karakter nasional, moral bangsa, kualitas diplomasi, serta kualitas kepemerintahan.
Faktor Geografis, letak geografis merupakan andalan kekuatan yang memengaruhi politik luar negeri suatu negara. Misalnya, sebuah fakta bahwa Amerika Serikat terpisah oleh Samudera Atlantik yang mengurangi dampak politik yang berkecamuk di benua Eropa dan Asia. Dengan kata lain, letak geografis Amerika Serikat tetap menjadi faktor dasar pertimbangan oleh politik luar negeri global.
Sumber Daya Alam, faktor ini melingkupi ketersediaan pangan, potensi minyak bumi, bahan mentah, dll. Dalam kasus ketersediaan pangan, negara yang menikmati sumber pangan yang besar tidak perlu mengalihkan politik luar negeri dari kepentingan nasionalnya, dengan menjamin penduduknya tidak akan mengalami kelaparan. Bahan mentah pada zaman perang hingga zaman industri modern menjadi bahan utama pengolahan industri. Negara dengan bahan mentah yang berlimpah dan memiliki akses mudah menguasainya di luar teritori negara, sangat berimplikasi pada kekuatan nasional negara tersebut. Sejak Perang Dunia I, minyak sebagai sumber energi sangat penting dalam kebutuhan industri dan perang. Senjata, pranata militer, kendaraan, mesin industri dimekanisir oleh minyak. Akibatnya, negara pemilik minyak bumi memperoleh kekuatan yang signifikan dalam urusan internasional. Kekuatan minyak memunculkan aktor negara baru yang makin berpengaruh, seperti Uni Soviet dan Timur tengah. Meskipun demikian, minyak sudah tidak lagi merupakan acuan kekuatan nasional suatu negara.
Kemampuan Industri, negara dengan cadangan bahan mentah yang besar, namun tidak sepadan dengan pranata industri yang memadai tidak menjadikannya sebagai kekuatan politik global. Jadi tidak dapat dipungkiri, bahwa negara industry sangat identik dengan kekuatan besar dalam perubahan politik dunia. Misalnya seperti Jepang yang mempunyai sektor perindustrian terbesar didunia.
Kesiagaan Militer, ketergantungan kekuatan nasional atas kesiapan militer sangat jelas, dengan memerlukan pranata militer yang ampuh mendukung politik luar negeri yang ditempuh oleh negara. Unsur kesiagaan militer di sini melingkupi penguasaan teknologi, kualitas kepemimpinan militer yang berpengaruh atas kekuatan nasional, dengan memiliki pemikiran baru pada siasat dan taktik. Namun negara dengan pemimpin yang tangkas akan menjadi negara yang lemah apabila tidak memiliki jumlah pasukan yang besar dan berkualitas.
Penduduk/populasi, tidak tepat untuk mengatakan bahwa semakin besar jumlah penduduk, semakin besar pula kekuatan nasional. Misalnya kasus RRC, yang memiliki penduduk 1.3 miliyar, dan India yang berpenduduk 1 miliyar, tidak menjadikan diri mereka kekuatan superpower global. Jumlah penduduk yang besar dan berkualitas dapat digunakan untuk menggerakan roda gerak industry, militer
Karakter Nasional karakter nasional pasti akan memengaruhi kekuatan nasional. Moral nasional salah satunya, moral nasional adalah tingkat kebulatan tekad suatu bangsa untuk mendukung politik luar negeri yang menyebar ke segenap kegiatan negara, seperti produksi industri, pranata militer maupun dinas diplomatiknya. Hal tersebut memiliki makna fundamental yang harus diambil, dan dapat menentukan kelangsungan hidup suatu negara. Moral nasional penting manakala suatu kekuatan nasional membawa pengaruh atas masalah internasional, karena berpengaruh pada tekad pemerintah dalam politik luar negerinya. Serta tiap bagian rakyat yang merasa hak dan partisipasinya yang penuh dalam penyelenggaraan negara.
Kualitas Diplomasi, kualitas diplomasi suatu negara menggabungkan faktor-faktor lain menjadi kesatuan kekuatan nasional yang terpadu, memberikan arah negara. Negara-negara harus mengandalkan kualitas diplomasinya supaya dapat bertindak sebagai katalisator untuk faktor yang berbeda demi membentuk kekuatan nasional negara. Pemerintah harus pula memastikan persetujuan rakyat sendiri untuk politik dalam dan luar negerinya. Bagaimanapun juga, bagi pemerintah tidak hanya cukup menggalang opini umum bangsa untuk membantu politik luar negeri, tetapi juga menggalang dukungan opini publik negara lain demi perebutan dominasi politik dan kekuasaan. Pergeseran zaman, akhir-akhir ini yang dipicu oleh arus globalisasi telah merubah pandangan dunia mengenai National Power tersebut. Unsur-unsur kekuatan nasional yang terdiri atas faktor geografis, sumber daya alam, penduduk sampai dengan kualitas diplomasi masih berlaku hingga era ini. Namun hal tersebut, tidak cukup menjadi titik acuan yang memengaruhi kekuatan nasional. Terdapat banyak faktor lain yang saling berkorelasi satu sama lain, seperti kekuatan investasi, perdagangan, sosial, kebudayaan, hingga agama (religion) dapat pula memengaruhi seberapa besar kekuatan nasional yang dimiliki oleh suatu negara.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa definisi dari national power begitu kompleks dan bersifat multi interpretasi. Power sendiri di dalamnya terdapat tiga elemen yang membentuknya yakni kekuasaan, pengaruh, dan kekuatan. Seperti yang diketahui, power merupakan salah satu dari tiga komponen penting dalam Hubungan Internasional. Tanpa adanya power, sebuah negara tidak akan bisa mewujudkan kepentingannya. Tetapi di sisi lain, mendapatkan power merupakan sebuah kepentingan nasional. Tipe dari kekuatan nasional dibagi menjadi dua yakni hard power yang mana cenderung menggunakan pemaksaan serta soft power yang menggunakan jalan damai seperti bernegosiasi. Sumber-sumber yang ada dalam sebuah kekuatan seperti penjelasan diatas, yakni geografi, sumber daya alam, kemampuan industri, kesiagaan militer, populasi, karakter nasional, dan kualitas diplomasi. Dalam menentukan besar tidaknya kekuatan dalam sebuah negara dapat diukur melalui konsep rumus yang telah dikemukakan oleh Ray S. Cline. Atau dengan melihat dari masing-masing unsur kekuatan nasional.
            Dengan deikian bahwa power bisa didefinisikan sebagai akumulasi dari kekuatan-kekuatan individu yang ada pada sebuah negara. Sebuah negara akan dikatakan mempunyai kekuatan yang luar biasa jika negara mampu mengimbangi atau bahkan mengalahkan kekuatan yang datang dari negara lain. Kekuatan nasional didapat atas kerjasama dari berbagai pihak yang mengelola segala sesuatu yang dikatagorikan dalam unsur-unsur kekuatan nasional. Seperti contohnya sumber daya alamnya yang dikelola oleh orang-orang yang bertanggung jawab dan mempunyai determinasi tinggi terhadap apa yang dikerjakan.


[1] Dahl, Robert A., (1970), Modern Political Analysis, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 2nd ed. Dalam Joshua S. Goldstein, (2004), International Relations  Washington, D. C.: American University, hlm. 73.
[2] Bruce Russett, Harvey Starr, David Kinsella, (2010), World Politics The Menu for Choice, Wadsworth: Cengange Learning,hlm. 106.
[3] Martin Griffiths & Terry O’Callaghan, (2002), International Relations: The Key Concepts, London: Routledge, hlm. 253.
[4] Joshua S. Goldstein, (2004), International Relations  ,Washington, D. C.: American University, hlm. 73

0 komentar:

Posting Komentar