Sebelum
menuju kepada pembahasan lebih dulu kita harus mengerti apa itu
power(kekuasaan), kekuasaan dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai sesuatu dengan
cara yang diinginkan. Kekuasaan tak luput hubungannya dengan organisasi dan
kepemimpinan. Dalam suatu organisasi sebagai wadah yang memiliki struktur,
dimana terdapat seorang pemimpin sebagai atasan dan orang yang dipimpin sebagai
bawahannya pasti terdapat didalamnya kekuasaan serta kepemimpinan. Pada
kekuasaan selalu melibatkan hubungan antara dua orang atau lebih, karena
kekuasaan selalu melibatkan interaksi sosial antar beberapa pihak, lebih dari
satu pihak. Dengan demikian seorang individu atau kelompok yang terisolasi
tidak dapat memiliki kekuasaan karena kekuasaan harus dilaksanakan atau
mempunyai potensi untuk dilaksanakan oleh orang lain.
Power(kekuasan) adalah kewenangan yang
didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut
sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan
melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk
memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok
lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Terdapat
beberapa definisi mengenai power. Robert A. Dahl dalam karyanya yang berjudul,“ Modern
Political Analysis”mendefinisikan power
sebagai,“the ability to get another
actor to do what it would not otherwise have done (or not to do what it would have done )”[1].
Robert A. Dahl mendefinisikan power sebagai
kemampuan untuk membuat aktor lain bertindak apa yang tidak diinginkannya (atau
tidak bertindak apa yang diinginkannya). Sehingga,jika aktor mendapatkan apa
yang ia inginkan, maka ia harus memiliki kekuatan. Selain itu, Bruce
Russett, Harvey Starr, David Kinsella dalam bukunya yang berjudul “World Politics The Menu for Choice”mengartikan power sebagai,“the ability to have
an impact on the behavior of other actors – to affect the opportunities
available to others and their willingness to choose particular courses of
action”[2].Mereka mengartikan power sebagai kemampuan untuk
memberikan dampak terhadap perilaku aktor-aktor lain, atau power sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
kesempatan yang tersedia bagi orang lain dan kemauan mereka untuk memilih
perilaku tertentu dari suatu tindakan. Martin Griffiths dan Terry
O’Callaghan dalam buku “International Relations: The Key Concepts mendefinisikan power sebagai,“state’s ability to control, or at least influence, other
states or the outcome of events”[3].
Martin Grffiths dan Terry O’Callaghan mengartikan
power sebagai kemampuan negara untuk
mengontrol, atau setidaknya mempengaruhi, negara lain. Selain itu Martin dan
Terry mengartikan power sebagai,“a capacity of action”[4]. Mereka pun menyatakan bahwa, power,
like money, is instrumental, to be used primarily to achieving or defending
other goals, which could include prestige, territory, or security.” Mereka menyatakan power, seperti uang, merupakan instrumen, yang digunakan mendapatkan
atau mempertahankan tujuan dimana termasuk harga diri, wilayah, dan keamanan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka negara dapat menggunakan pengaruh, persuasi
atau memberikan reward , ancaman,
dan penggunaan kekuatan
Tipe Power(Kekuasaan)
Jika
setiap individu mengadakan interaksi untuk mempengaruhi tindakan satu sama
lain, maka yang muncul dalam interaksi tersebut adalah pertukaran kekuasaan. Dari
penjelasan tentang definisi power(kekuasaan) diatas sebuah power/kekuasaa pasti
memiliki tipe-tipe, dalam studi Hubungan Internasional ada 2 tipe
power(kekuasaan) antara lain Hard Power dan Soft Power.
Hard power
merupakan suatu tindakan yang menggunakan cara kekerasan dan cenderung agresif,
misalnya melalui tekanan politik, tekanan ekonomi dan serangan militer. Hard
power dilakukan oleh negara yang memiliki power kuat dikarenakan hard
power memerlukan kekuatan militer yang kuat dan biaya yang tidak sedikit.
Selain itu, hard power memicu terjadinya perselisihan antar negara
karena dilakukan melalui paksaan dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi
negara yang bertikai. Walaupun memilki sisi negatif, hard power
merupakan cara yang memberikan efek paling nyata dalam meningkatkan power
suatu negara. Contoh kasusnya adalah pada tahun 1990, sanksi ekonomi menyatakan
bahwa tidak memaksa Iraq untuk menarik diri dari Kuwait, namun pada tahun 1991
terjadi serangan militer sengit yang dilakukan oleh pasukan koalisi PBB yang
ditujukan kepada rumah tentara Iraq. AS adalah
contoh negara yang menggunakan hard powernya dengan sukses sewaktu menaklukkan
pemerintahan Irak era Saddam Hussein (tahun 2003), namun citranya di mata dunia
merosot. Survei yang dilakukan Pew Research Center tentang opini dunia terhadap
AS menunjukkan citra positif AS yang menurun antara tahun 2002 hingga 2007, Hal
ini menunjukkan bahwa AS telah kalah dalam merebut simpati dunia(termasuk
Eropa), kendati berhasil mengalahkan Iraq keadaa ini tidak ideal Hal ini
dibenarkan oleh Menteri Pertahanan AS waktu itu,Robert Gates, yang menyatakan
perlunya AS meningkatkan soft power dengan meningkatkan anggaran untuk
mengembangkan instrumen sipil keamanan nasional, seperti diplomasi, komunikasi
strategis, bantuan luar negeri, rekonstruksi ekonomi, dll. Ia mengakui bahwa
saran ini tidak lazim, karena Menteri Pertahanan mengusulkan tambahan anggaran
yang besar untuk Kementerian Luar Negeri, namun ia yakin bahwa hal ini perlu
dilakukan untuk mengembalikan keunggulan AS.
Soft power adalah kemampuan
seorang actor untuk mengajak actor yang lainnya untuk
melakukan kegiatan melalui jalan diplomasi atau influence. Dalam hal
ini, daya tarik ideologi suatu negara, budaya, prestise, atau kesuksesan dapat
menyebabkan negara tersebut menjadi pemimpin bagi negara lain sehingga dapat
membuat negara lain dengan rela mengikutinya. Soft power merupakan
cara yang efektif untuk mencegah peperangan antar negara yang ingin menunjukkan
powernya. Walaupun menggunakan cara yang lebih lunak tetapi soft
power juga merupakan cara jitu untuk mendapatkan power karena
ketika suatu negara mampu menyebarluaskan ideologinya dan mempengaruhi negara
lain melalui berbagai pendekatan, saat itulah negara tersebut akan mendapatkan
kekuatan berupa kepercayaan dari negara lain. Namun apabila suatu negara
menggunakan soft power saja maka negara tersebut cenderung statis
karena tidak berani melakukan tindakan militer maupun gerakan-gerakan lain yang
menggunakan fisik. Kebutuhan untuk menggunakan soft power, sudah disadari
China sejak lama. Beberapa contoh yang terlihat adalah prakarsa jalan sutra
darat dan maritim untuk meningkatkan kerjasama perdagangan dengan negara-negara
Asia dan Eropa Tengah, penyelenggaraan siaran TV berbahasa Inggris (CCTV), tuan
rumah Olimpiade dll. Cukup menonjol adalah perluasan pengaruhnya ke benua
Afrika, menggunakan budaya, diplomasi, teknologi, modal, pembangunan
infrastruktur, dll. sebagai sarana untuk membangun soft power. China mendirikan
Forum Kerjasama China-Afrika sebagai wadah kerjasama bidang kesehatan, bantuan
kemanusiaan, pertukaran akademisi dan profesional,dan kebudayaan.Pemerintah China
mendirikan belasan Confucius Institute untuk mengembangkan pengajaran bahasa
China kepada generasi muda Afrika.
Unsur Power Suatu Negara
Negara merupakan abstraksi dari sejumlah
kelompok individu maupun golongan yang mempunyai kesamaan cirri khas yang
menjadikan mereka anggota negara yang sama (nationality). Dalam hal
ini, unsur manusia yang berada di teritori negara tertentu sangat berpengaruh
terhadap kekuatan yang dimiliki oleh negara. Unsur kekuatan nasional tidak
berpaku pada kualitas maupun kuantitas populasi suatu negara, tetapi juga unsur
geografis (geopolitic), Sumber Daya Alam, ekonomi dan industri, kemampuan
militer, penduduk, karakter nasional, moral bangsa, kualitas diplomasi, serta
kualitas kepemerintahan.
Faktor Geografis, letak
geografis merupakan andalan kekuatan yang memengaruhi politik luar negeri suatu
negara. Misalnya, sebuah fakta bahwa Amerika Serikat terpisah oleh Samudera
Atlantik yang mengurangi dampak politik yang berkecamuk di benua Eropa dan
Asia. Dengan kata lain, letak geografis Amerika Serikat tetap menjadi faktor
dasar pertimbangan oleh politik luar negeri global.
Sumber Daya Alam,
faktor ini melingkupi ketersediaan pangan, potensi minyak bumi, bahan mentah,
dll. Dalam kasus ketersediaan pangan, negara yang menikmati sumber pangan yang
besar tidak perlu mengalihkan politik luar negeri dari kepentingan nasionalnya,
dengan menjamin penduduknya tidak akan mengalami kelaparan. Bahan mentah pada
zaman perang hingga zaman industri modern menjadi bahan utama pengolahan
industri. Negara dengan bahan mentah yang berlimpah dan memiliki akses mudah
menguasainya di luar teritori negara, sangat berimplikasi pada kekuatan nasional
negara tersebut. Sejak Perang Dunia I, minyak sebagai sumber energi sangat
penting dalam kebutuhan industri dan perang. Senjata, pranata militer,
kendaraan, mesin industri dimekanisir oleh minyak. Akibatnya, negara pemilik
minyak bumi memperoleh kekuatan yang signifikan dalam urusan internasional.
Kekuatan minyak memunculkan aktor negara baru yang makin berpengaruh, seperti
Uni Soviet dan Timur tengah. Meskipun demikian, minyak sudah tidak lagi
merupakan acuan kekuatan nasional suatu negara.
Kemampuan
Industri, negara dengan cadangan bahan mentah yang
besar, namun tidak sepadan dengan pranata industri yang memadai tidak
menjadikannya sebagai kekuatan politik global. Jadi tidak dapat dipungkiri,
bahwa negara industry sangat identik dengan kekuatan besar dalam perubahan
politik dunia. Misalnya seperti Jepang yang mempunyai sektor perindustrian
terbesar didunia.
Kesiagaan Militer, ketergantungan
kekuatan nasional atas kesiapan militer sangat jelas, dengan memerlukan pranata
militer yang ampuh mendukung politik luar negeri yang ditempuh oleh negara.
Unsur kesiagaan militer di sini melingkupi penguasaan teknologi, kualitas
kepemimpinan militer yang berpengaruh atas kekuatan nasional, dengan memiliki
pemikiran baru pada siasat dan taktik. Namun negara dengan pemimpin yang
tangkas akan menjadi negara yang lemah apabila tidak memiliki jumlah pasukan
yang besar dan berkualitas.
Penduduk/populasi,
tidak tepat untuk mengatakan bahwa semakin besar jumlah penduduk, semakin besar
pula kekuatan nasional. Misalnya kasus RRC, yang memiliki penduduk 1.3 miliyar,
dan India yang berpenduduk 1 miliyar, tidak menjadikan diri mereka kekuatan
superpower global. Jumlah penduduk yang besar dan berkualitas dapat digunakan
untuk menggerakan roda gerak industry, militer
Karakter Nasional
karakter nasional pasti akan memengaruhi kekuatan nasional. Moral nasional
salah satunya, moral nasional adalah tingkat kebulatan tekad suatu bangsa untuk
mendukung politik luar negeri yang menyebar ke segenap kegiatan negara, seperti
produksi industri, pranata militer maupun dinas diplomatiknya. Hal tersebut
memiliki makna fundamental yang harus diambil, dan dapat menentukan
kelangsungan hidup suatu negara. Moral nasional penting manakala suatu kekuatan
nasional membawa pengaruh atas masalah internasional, karena berpengaruh pada
tekad pemerintah dalam politik luar negerinya. Serta tiap bagian rakyat yang
merasa hak dan partisipasinya yang penuh dalam penyelenggaraan negara.
Kualitas Diplomasi, kualitas
diplomasi suatu negara menggabungkan faktor-faktor lain menjadi kesatuan
kekuatan nasional yang terpadu, memberikan arah negara. Negara-negara harus
mengandalkan kualitas diplomasinya supaya dapat bertindak sebagai katalisator
untuk faktor yang berbeda demi membentuk kekuatan nasional negara. Pemerintah
harus pula memastikan persetujuan rakyat sendiri untuk politik dalam dan luar
negerinya. Bagaimanapun juga, bagi pemerintah tidak hanya cukup menggalang
opini umum bangsa untuk membantu politik luar negeri, tetapi juga menggalang
dukungan opini publik negara lain demi perebutan dominasi politik dan
kekuasaan. Pergeseran zaman, akhir-akhir ini yang dipicu oleh arus globalisasi
telah merubah pandangan dunia mengenai National Power tersebut. Unsur-unsur
kekuatan nasional yang terdiri atas faktor geografis, sumber daya alam,
penduduk sampai dengan kualitas diplomasi masih berlaku hingga era ini. Namun
hal tersebut, tidak cukup menjadi titik acuan yang memengaruhi kekuatan
nasional. Terdapat banyak faktor lain yang saling berkorelasi satu sama lain,
seperti kekuatan investasi, perdagangan, sosial, kebudayaan, hingga agama (religion)
dapat pula memengaruhi seberapa besar kekuatan nasional yang dimiliki oleh
suatu negara.
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa definisi dari national power begitu
kompleks dan bersifat multi interpretasi. Power sendiri di dalamnya
terdapat tiga elemen yang membentuknya yakni kekuasaan, pengaruh, dan kekuatan.
Seperti yang diketahui, power merupakan salah satu dari tiga komponen
penting dalam Hubungan Internasional. Tanpa adanya power, sebuah negara tidak
akan bisa mewujudkan kepentingannya. Tetapi di sisi lain, mendapatkan power
merupakan sebuah kepentingan nasional. Tipe dari kekuatan nasional dibagi
menjadi dua yakni hard power yang mana cenderung menggunakan pemaksaan
serta soft power yang menggunakan jalan damai seperti bernegosiasi.
Sumber-sumber yang ada dalam sebuah kekuatan seperti penjelasan diatas, yakni
geografi, sumber daya alam, kemampuan industri, kesiagaan militer, populasi,
karakter nasional, dan kualitas diplomasi. Dalam menentukan besar tidaknya
kekuatan dalam sebuah negara dapat diukur melalui konsep rumus yang telah
dikemukakan oleh Ray S. Cline. Atau dengan melihat dari masing-masing unsur
kekuatan nasional.
Dengan deikian bahwa power bisa didefinisikan sebagai akumulasi dari
kekuatan-kekuatan individu yang ada pada sebuah negara. Sebuah negara akan
dikatakan mempunyai kekuatan yang luar biasa jika negara mampu mengimbangi atau
bahkan mengalahkan kekuatan yang datang dari negara lain. Kekuatan nasional
didapat atas kerjasama dari berbagai pihak yang mengelola segala sesuatu yang
dikatagorikan dalam unsur-unsur kekuatan nasional. Seperti contohnya sumber
daya alamnya yang dikelola oleh orang-orang yang bertanggung jawab dan
mempunyai determinasi tinggi terhadap apa yang dikerjakan.
[1] Dahl, Robert A., (1970), Modern
Political Analysis, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 2nd ed. Dalam
Joshua S. Goldstein, (2004), International Relations Washington, D. C.:
American University, hlm. 73.
[2] Bruce Russett, Harvey Starr, David
Kinsella, (2010), World Politics The Menu for Choice, Wadsworth: Cengange
Learning,hlm. 106.
[3] Martin Griffiths & Terry
O’Callaghan, (2002), International Relations: The Key Concepts, London:
Routledge, hlm. 253.
[4] Joshua S. Goldstein, (2004),
International Relations ,Washington, D. C.: American University, hlm. 73
0 komentar:
Posting Komentar