Sejak 1886, Inggris menjadikan Myanmar sebagai salah satu provinsi India. Inggris kerap mengirim orang-orang India ke Myanmar yang berjutuan untuk mengurangi kepadatan penduduk di India. Karena itulah wilayah Myanmar sempat didominasi oleh orang-orang India. Hal ini menyebabkan kondisi yang buruk karena antara orang Myanmar dan orang India kerap sekali berkonflik terutama ketika orang India menguasai perekonomian. Dengan seringnya konflik yang terjadi maka Inggris pada tahun 1937 memisahkan India dan Myanmar.
Selama masa penjajahannya, Inggris membangun Myanmar di berbagai bidang, mulai dari transportasi, ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Inggris menginginkan agar Myanmar bisa menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, oleh karena itu Inggris mendirikan banyak sekolah-sekolah dan universitas seperti Universitas Rangoon. Inggris juga memperbaiki transportasi yang ada si Myanmar, membuat rel kereta api dan juga sistem pos dan komunikasi yang lebih modern.
Dalam masa kekuasaan Inggris, banyak anak muda di Myanmar menjadi nasionalis yang menentang kekuasaan Inggris. Pada tahun 1920, beberapa siswa yang tidak senang dengan pemerintahan Inggris mulai menyebut diri mereka thakin, atau master. Yang sebelumnya mereka telah gunakan kata ini untuk Inggris, tetapi mereka memutuskan bahwa mereka ingin menjadi majikan bagi mereka sendiri. Pada awal tahun 1931, thakin ini memulai sebuah kelompok yang disebut Dobama Asiayone (DAA) atau "Kami Asosiasi Birma". Sepanjang Myanmar, mahasiswa dan kaum muda bergabung dengan organisasi ini untuk menentang Inggris dan mengungkapkan perasaan nasionalisme mereka. Gerakan ini memiliki banyak pemimpin terkenal. DAA dimulai oleh Thakin Ba Thaung dan Thakin Lay Maung. Thakin Kodaw Hmaing, yang menjadi guru yang dihormati dan pemimpin politik yang juga penting dalam gerakan ini. Dua pemimpin yang kemudian menjadi sangat terkenal juga anggota DAA yaitu Bogyoke Aung San dan U Nu. Pada tahun 1936, dua siswa ini adalah anggota dari Rangoon University Student Union (Rusu) yang diusir dari Universitas Rangoon untuk kegiatan politik mereka. Ko Nu telah menuntut kelas sekolah yang berbeda antara orang local dan Inggris, dan Ko Aung San telah menjalankan surat kabar yang menyatakan opini anti-Inggris.
Para siswa lain mengadakan demonstrasi mendukung Ko Aung San dan Ko Nu. Semakin banyak, para siswa ini mulai menginginkan kemerdekaan dari Inggris sehingga mereka bisa membuat keputusan sendiri tentang sistem pendidikan dan politik. Beberapa tahun kemudian, para siswa bergabung dengan beberapa pekerja industri dan petani. Serikat buruh telah dibentuk pada tahun 1933, dan pekerja lapangan minyak mogok pada tahun 1938. Gerakan nasionalis Myanmar menjadi lebih kuat. Pada tahun 1938, seorang mahasiswa Myanmar yang bernama Ko Aung Gyaw tewas dalam demonstrasi damai melawan Inggris. Kematiannya membuat banyak orang Myanmar sangat marah, dan mereka menjadi lebih bertekad untuk berjuang melawan Inggris. Gerakan nasionalis Myanmar tumbuh, tetapi tidak pernah benar-benar mencakup semua orang yang tinggal di perbatasan Myanmar. Tidak semua nasionalis Myanmar yang secara resmi merupakan etnis Myanmar. Pemimpin Mon U Chit Hlaing dan pemimpin Arakan U Ottoma didukung untuk meemerdekakan Myanmar. Tetapi hanya sedikit orang di area perbatasan ingin menjadi bagian dari bangsa Myanmar. Banyak kelompok etnis ingin negara mereka berdiri sendiri, atau mereka ingin Inggris untuk tetap berkuasa. Mereka memiliki gerakan nasionalis mereka sendiri yang terpisah dari nasionalisme Myanmar. Untuk itu, gerakan nasionalis Myanmar tidak mencakup semua orang di negeri ini.
Selama masa penjajahannya, Inggris membangun Myanmar di berbagai bidang, mulai dari transportasi, ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Inggris menginginkan agar Myanmar bisa menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, oleh karena itu Inggris mendirikan banyak sekolah-sekolah dan universitas seperti Universitas Rangoon. Inggris juga memperbaiki transportasi yang ada si Myanmar, membuat rel kereta api dan juga sistem pos dan komunikasi yang lebih modern.
Dalam masa kekuasaan Inggris, banyak anak muda di Myanmar menjadi nasionalis yang menentang kekuasaan Inggris. Pada tahun 1920, beberapa siswa yang tidak senang dengan pemerintahan Inggris mulai menyebut diri mereka thakin, atau master. Yang sebelumnya mereka telah gunakan kata ini untuk Inggris, tetapi mereka memutuskan bahwa mereka ingin menjadi majikan bagi mereka sendiri. Pada awal tahun 1931, thakin ini memulai sebuah kelompok yang disebut Dobama Asiayone (DAA) atau "Kami Asosiasi Birma". Sepanjang Myanmar, mahasiswa dan kaum muda bergabung dengan organisasi ini untuk menentang Inggris dan mengungkapkan perasaan nasionalisme mereka. Gerakan ini memiliki banyak pemimpin terkenal. DAA dimulai oleh Thakin Ba Thaung dan Thakin Lay Maung. Thakin Kodaw Hmaing, yang menjadi guru yang dihormati dan pemimpin politik yang juga penting dalam gerakan ini. Dua pemimpin yang kemudian menjadi sangat terkenal juga anggota DAA yaitu Bogyoke Aung San dan U Nu. Pada tahun 1936, dua siswa ini adalah anggota dari Rangoon University Student Union (Rusu) yang diusir dari Universitas Rangoon untuk kegiatan politik mereka. Ko Nu telah menuntut kelas sekolah yang berbeda antara orang local dan Inggris, dan Ko Aung San telah menjalankan surat kabar yang menyatakan opini anti-Inggris.
Para siswa lain mengadakan demonstrasi mendukung Ko Aung San dan Ko Nu. Semakin banyak, para siswa ini mulai menginginkan kemerdekaan dari Inggris sehingga mereka bisa membuat keputusan sendiri tentang sistem pendidikan dan politik. Beberapa tahun kemudian, para siswa bergabung dengan beberapa pekerja industri dan petani. Serikat buruh telah dibentuk pada tahun 1933, dan pekerja lapangan minyak mogok pada tahun 1938. Gerakan nasionalis Myanmar menjadi lebih kuat. Pada tahun 1938, seorang mahasiswa Myanmar yang bernama Ko Aung Gyaw tewas dalam demonstrasi damai melawan Inggris. Kematiannya membuat banyak orang Myanmar sangat marah, dan mereka menjadi lebih bertekad untuk berjuang melawan Inggris. Gerakan nasionalis Myanmar tumbuh, tetapi tidak pernah benar-benar mencakup semua orang yang tinggal di perbatasan Myanmar. Tidak semua nasionalis Myanmar yang secara resmi merupakan etnis Myanmar. Pemimpin Mon U Chit Hlaing dan pemimpin Arakan U Ottoma didukung untuk meemerdekakan Myanmar. Tetapi hanya sedikit orang di area perbatasan ingin menjadi bagian dari bangsa Myanmar. Banyak kelompok etnis ingin negara mereka berdiri sendiri, atau mereka ingin Inggris untuk tetap berkuasa. Mereka memiliki gerakan nasionalis mereka sendiri yang terpisah dari nasionalisme Myanmar. Untuk itu, gerakan nasionalis Myanmar tidak mencakup semua orang di negeri ini.